Danau Cipogas, Rokan Hulu |
Oleh: U.U, Hamidy
Nabi Muhammad Saw, suri tauladan bagi yang ingin mulia di muka bumi dan selamat di akhirat, telah berpesan bahwa umat manusia berserikat pada air, api dan padang rumput. Maksudnya, umat manusia sama-sama punya kepentingan atau hajat untuk memperoleh air, api (bahan bakar) dan padang rumput (hutan belantara). Pesan Junjungan Alam ini benar-benar menjadi pangkal kesejahteraan umat manusia, karena ketiga kepentingan itu merupakan hajat hidup segala penjuru dunia.
Nabi Muhammad Saw, suri tauladan bagi yang ingin mulia di muka bumi dan selamat di akhirat, telah berpesan bahwa umat manusia berserikat pada air, api dan padang rumput. Maksudnya, umat manusia sama-sama punya kepentingan atau hajat untuk memperoleh air, api (bahan bakar) dan padang rumput (hutan belantara). Pesan Junjungan Alam ini benar-benar menjadi pangkal kesejahteraan umat manusia, karena ketiga kepentingan itu merupakan hajat hidup segala penjuru dunia.
Karena itu,
sumber air, sumber api atau bahan bakar serta padang rumput dengan
hutan belantara menurut Syariah Islam tidak boleh dikuasai dan dikelola
oleh perseorangan maupun oleh suatu perusahaan swasta yang dapat
menyebabkan hajat hidup orang banyak tak dapat dipenuhi secara adil.
Hanya negara yang berhak
mengelolanya lalu hasilnya dibagikan kepada rakyat. Dengan demikian
akan terbukti pesan Nabi Saw memberi rahmat bagi segenap alam.
Pesan
itu telah mendapat apresiasi dalam tradisi puak Melayu di Riau. Puak
Melayu di Riau telah membagi hutan tanah menjadi 5 bagian panting yakni
rimba simpanan (larangan),
tanah kebun, tanah peladangan, rimba kepungan sialang dan tanah
pekarangan. Kelestarian hutan tanah ini dikawal dengan adat bersendi
syarak. Jadi sistem tata ruang hutan tanah Melayu itu telah menjawab
semua kepentingan segala makhluk. Rimba simpanan untuk melestarikan
flora dan fauna. Tanah kebun dan ladang untuk hajat hidup manusia. Rimba
kepungan sialang untuk lebah hutan membuat sarang yang madunya amat
berguna. Tanah pekarangan tempat membuat perkampungan. Semua aspek ini
punya ketergantungan yang saling menguntungkan.
Di Rantau Kuantan daerah Kabupaten Kuantan Singingi,
sampai tahun 1950-an masih dapat dijumpai 50 kawasan rimba simpanan
(larangan) yang mendapat perlindungan dari pemerintah Belanda melalui
Residen Riau dengan ketetapannya tanggal 20 Maret 1919 Nomor 82 yang berlaku mulai 1 April 1919. Di Kecamatan Pangkalan Kuras, Kabupaten Pelalawan, pada tahun 1987 masih terpelihara lebih kurang 75 hektare
rimba kepungan sialang. Tata hutan tanah ini telah menjaga sumber air,
udara yang bersih serta keseimbangan ekosistem. Karena itu, 8 macam mata pencaharian puak Melayu yang terkenal dengan tapak lapan
(beladang, berkebun, beternak, berniro, berniaga, bertukang, cari ikan
atau nelayan dan mengambil hasil hutan) dapat memberikan kesejahteraan
yang memadai kepada anak negeri.
Dari
rimba simpanan yang terpelihara dengan lestari, dapat diambil kayu
gaharu, getah balam, jelutung, kayu bahan bangunan seperti kulim,
binatang buruan, ikan dan buah-buahan. Tapi yang paling mudah diambil
dan paling mahal sekarang ialah petai dan rotan. Perhatikanlah betapa
mahalnya petai dan rotan sekarang ini. Di rimba simpanan ada beratus
pohon petai dan ribuan rumpun rotan yang tumbuh secara alami, yang dapat
diambil sepanjang tahun oleh anak negeri di sekitarnya. Hasilnya
benar-benar tak terkira. Belum lagi kayu kulim, kuras dan medang yang
harganya sudah puluhan juta perkubik. Sementara itu 1 sarang lebah sialang yang sedang penuh dapat menghasilkan madu 25 Kg,
yang harganya sekarang tidak akan kurang dari Rp1.500.000,-. Satu pohon
sialang dapat menghasilkan 100 sarang lebah dalam setahun, jika di
kawasan itu ada rimba belantara yang terpelihara serta kebun dan ladang
yang terpelihara pula. Sebab, lebah hutan mengambil sari madu dari
kayu-kayan di hutan serta kebun dan ladang.
Jadi,
hutan belantara yang terpelihara dengan lestari itu sebenarnya dapat
bernilai ekonomi yang amat besar, tanpa kita mengeluarkan tenaga dan
biaya yang mahal. Nilai ekonomi hutan tanah yang lestari akan lebih
besar daripada nilai ekonomi yang diperoleh dengan cara merusaknya.
Kerusakan sistem hutan tanah puak Melayu di Riau dimulai oleh
pemerintahan Orde Baru yang ditaja Golkar selama 30
tahun. Mula-mula dirusak oleh Hak Pengusahaan Hutan (HPH) lalu disusul
oleh perkebunan kelapa sawit dan akhirnya diambil lagi oleh perusahaan
bubur kertas.
Ini terjadi karena pemerintah membangun dengan gaya kapitalis neo-liberal, yang hanya mengukur pertumbuhan ekonomi,
tak menghiraukan pemerataan dan kelestarian alam. Pertumbuhan ekonomi
memang naik dengan tajam, karena penanaman modal para pemilik modal.
Tetapi pertumbuhan itu hanya dinikmati oleh para pemilik modal, penguasa
yang memberi kemudahan kepada kapitalis dan pemegang senjata yang
menjaga asset perusahaan itu. Sedangkan rakyat hanya mendapat lapangan
pekerjaan menjadi kuli yang telah dihaluskan dengan kata buruh. Hutan
tanah mereka jadi rusak binasa, mereka kehilangan sumber pendapatan dari
hutan belantara yang dulu mereka pelihara. Kemudian datang ancaman
banjir, tebing sungai yang runtuh, serangan penyakit dan iklim yang
tidak menentu.
Sekarang, setelah hutan tanah itu rusak binasa,
tak ada lagi sungai yang jernih. Tak ada lagi kicau burung yang indah
serta nyanyian siamang yang merdu di rimba belantara. Jikapun masih ada
madu sialang, warnanya sudah menghitam dan rasanya tak enak lagi karena hanya mengambil sari madu dari kebun kelapa sawit serta hutan tanaman industri. Dan
tak ada lagi udara yang segar dengan angin yang bertiup lembut dari
pohon-pohon yang rindang. Alam yang terpelihara serupa itu tak ada
nilainya oleh manusia serakah, yang tak mau diatur oleh hukum Allah yang melarang manusia membuat kerusakan dimuka
bumi. Mereka hanya mau memakai hukum yang bersandar kepada kepentingan
hawa nafsu, sehingga akhirnya menimbulkan kerusakan di daratan dan di
lautan.***
Comments
Post a Comment