Emosi Orang Melayu

 Emosi Orang Melayu dalam Cerpen ‘Salah Paham’ karya Soeman, Hs
(Tinjauan Antropologi Sastra dalam Kawan Bergelut)
Oleh: Gunawan

I.         PENDAHULUAN
Diantara beberapa karya yang lahir pada periode Balai pustaka, hal yang menarik untuk disimak adalah kumpulan cerita jenaka yang dikemas dalam ‘kawan Bergelut’. Kawan bergelut merupakan kumpulan cerita yang berlatar kebudayaan Melayu. Beberapa hal yang kental dengan kebudayaan itu terasa dari pekerjaan-pekerjaan tokoh di dalam cerita ini, dan juga lokasi kejadian yang di alami tokoh. Di samping itu pula, yang tak kalah menarik adalah karakter tokoh yang sangat identic dengan sikap dan kepribadian orang melayu.
Dalam tulisan yang singkat ini, penulis sangat tertarik mengamati emosi tokoh yang diciptakan oleh penulis kawan bergelut ini. Di antara beberapa cerita yang terkandung di dalamnya, penulis memilih cerita ‘salah Paham’ sebagai objek kajian. Dilandaskan beberapa alasan yang salah satunya adalah, cerita ini memuat sebuah jalan cerita yang sederhana dan berkarakter. Karakter yang dimaksud adalah karakter orang Melayu kebanyakan yang hidup di Pulau Sumatra pada umumnya, dan Riau pada khususnya. Di tangan seorang Suman, Hs, karakter itu mencair dalam keluguan seorang tokoh yang bernama Kari.
Namun sebelum pembahasan ini teramat jauh disuguhkan, eloklah kita kenali sekilas mengenai penulisnya. Beliau bernama Soeman, Hs. Siapa itu Soeman Hs? mungkin nama ini belum familiar bila dibandingkan dengan nama-nama sastrawan lainnya. Ketidaktahuan masyarakat tentang sosok Soeman Hs dinilai wajar, karena nama Soeman Hs. hanya dikenal oleh mereka yang menggeluti dunia sastra. Padahal sosok ini bukan saja sebagai sastrawan, melainkan juga sebagai pejuang dan pendidik. Soeman Hs merupakan salah satu tokoh generasi tua di Riau.
Soeman, Hs adalah tokoh penting sastra Indonesia modern. Dia dianggap penancap tonggak sejarah cerita pendek, meski tetap masih menjadi perdebatan. Sayangnya, banyak generasi sekarang yang tidak mengenalnya, juga karya-karyanya.
Soeman Hs adalah sosok yang lengkap dan unik. Kecintaannya kepada budaya Melayu bukan hanya kata-kata di bibir saja, tetapi dibuktikan dalam kehidupan keseharian dan dalam karya-karyanya. Soeman bahkan menyingkat marga yang ada di belakang namanya, yakni Hasibuan, menjadi Hs. Dia mengaku lebih Melayu dari orang Melayu sendiri, padahal dia lahir dari keluarga Batak di Tapanuli Selatan.
Dia pernah menukil sebuah pantun yang berisi mengenai betapa Melayunya Ia.
Bukan Kapak sembarang kapak
Kapak untuk membelah kayu
Bukan batak sembarang batak
Batak ini sudah Melayu.
Tak hanya sebatas pandai berpantun, sistem kehidupan Soeman, Hs pun sudah dilengkapi dengan kemelayuan. Soeman juga terlibat aktif dalam pembinaan bahasa Melayu, yang sekarang kita kenal sebagai bahasa Indonesia di Riau melalui Radio RRI. Selain itu dia juga turut membina bahasa Indonesia melalui karya sastra. dikenal sebagai salah satu sastrawan Melayu yang tetap menjunjung bahasa Melayu. Di tangan Soeman, bahasa Melayu yang kala itu mulai kaku, menjadi cair dan meliuk-liuk indah. Hal ini dipertegas pula oleh Sutan Takdir Alisjahbana dalam Kawan Bergelut (ix:2011) “Di tangan Suman Hs bahasa Melayu lama yang telah kaku dan beku oleh karena telah tetap susunan dan acuannya, menjadi cair kembali, lemas mengalir berliku-liku, ringan beriak beralun-alun”.
                Dalam beberapa karangannya, terlihat bahwa Soeman selalu melibatkan karakteristik kemelayuan dalam diri tokoh-tokoh yang ia ciptakan. Pada pembahasan ini, penulis akan coba mengupas mengenai konsep emosi bagi orang melayu yang bersebati pada tokoh pada salah satu cerpen dalam kumpulan ‘Kawan Bergelut’ karya Soeman ini.
Kajian ini menggunakan pendekatan antropologi sastra dengan metode deskriptif. Antropologi sastra dinilai mampu mengurai kajian ini karena memang cerita-cerita yang ada dalam Kawan Bergelut bersentuhan dengan masyarakat, kebudayaan dan tradisi masyarakat Melayu.
Menurut Ratna (2011: 68) antropologi sastra berfungsi untuk; 1) melengkapi analisis ekstrinsik di samping sosiologi sastra dan psikologi sastra, 2) mengantisipasi dan mewadahi kecenderungan-kecenderungan baru hasil karya sastra yang di dalamnya banyak dikemukakan masalah-masalah kearifan local, 3) diperlukan dalam kaitannya dengan keberadaan bangsa Indonesia, di dalamnya terkandung beraneka ragam adat kebiasaan seperti; mantra, pepatah, motto, pantun, yang sebagian besar juga dikemukakan secara estetis dalm bentuk sastra, 4) wadah yang sangat tepat bagi tradisi dan sastra lisan yang selama ini menjadi wilayah perbatasan disiplin antropologi sastra, 5) mengantisipasi kecenderungan kontemporer yaitu perkembangan multidisiplin baru.


II.                 PEMBAHASAN
a.      Konsep Emosi Orang Melayu
Sentuhan perasaan atau tingkat emosi orang Melayu dapat direntang dari tingkat malu, menghindar dan merajuk, disusul oleh latah dan aruk berakhir dengan amuk. Amuk adalah tingkat emosi yang paling tinggi. Reaksi ini bisa timbul bila segala tata nilai, terutama agama dan adat, dilanggar terang-terangan oleh seseorang yang zalim.
Masyarakat yang tentram berada pada tingkat emosi malu sampai merajuk. Pada tingkat latah dan aruk, sudah ada arah kepada perlawanan. Tapi belum dilakukan secara terbuka serta belum terorganisir. Perlawanan secara massal dan terbuka terjadi pada tingkat amuk.
Hal ini yang ingin ditunjukkan oleh Soeman, bahwa meskipun orang Melayu dikenal dengan lemah lembut, halus budi tutur bahasanya, namun orang Melayu tetap memiliki sisi humanis yang memiliki sifat dan rasa amarah. Secara tersirat, Soeman mencoba menjelaskan, bahwa emosi dan amarah itu bisa dikendalikan oleh kemelayuan pada diri seorang Kari dalam cerpennya ini.

b.      Analisis
Pada cuplikan cerpen ini dapat pula kita melihat sejauh mana tingkat emosi si Kari ketika seorang penjaga kedai nasi tanpa sengaja mengetahui namanya persis dengan nama aneka gulai yang ia jual. Dalam hal ini, si Kari sendiri tidak tahu bahwa maksud penjaga kedai menyatakan kari itu sama maknanya dengan gulai.
Pada tingkat ini si Kari sudah sampai kepada ‘latah dan aruk’ meskipun tukang kedai sendiri sudah mencapai amuk.
Penjaga Lepau
Si Kari
1.       “Tuan mau makan?” bertanya yang empunya kedai.

1.       “Ya, sahut si Kari sambil menghirup-hirup udara membaui bau makanan yang mengamuk hidung itu.
2.       “Kari apa?” bertanya tukang jaga gulai.
2.       “Mau makan”, jawab si Kari dengan heran, karena tidak disangka-sangkanya, orang kedai itu mengetahui namanya.
3.      “Kari apa…?” bertanya tukang lepau sekali lagi.
3.      “Mau makan…!” jawab si Kari bungsu.
4.      “Ya, …kari apa?” ujar orang keling itu agak marah, karena ia merasa dipermain-mainkan.
4.      “Mau…makan,” memberongsang si Kari, Bukan sudah saya katakana berkali-kali?”
5.      Orang lepau itu meradang, lalu berkata: “Ya, saya tahu, tapi kari apa?-kari kambing…? Kari lembu…? Kari ayam…?”
5.      Mendengar itu, Kari Bungsu menyentak tumbuk. Dia sangat malu dikatakan Kambing, …Lembu… dan ayam itu.
Pada dialog 4 si Penjaga Lepau  sudah berada pada tingkat Amuk, karena merasa dipermain-mainkan. Berbeda dengan si Kari pada dialog 5, yang sudah dibuat malu, tapi hanya sekedar menyentak tumbuknya menahan emosi.
                Pada cuplikan selanjutnya, si Kari tetap menunjukkan emosi yang tetap dalam tingkat latah dan aruk, meskipun secara terang-terangan dia mengira bahwa si Tukang  Lepau akan membunuhnya. Dia mencari solusi atas perkara yang akan berlaku padanya, timbang ia akan berlaku menghakimi sendiri si Tukang Lepau itu.
Penjaga Lepau
Si Kari
1.       Oleh orang keling itu, es itu diparutnya, lalu dimasukkannya ke dalam gelas.
2.       Polisi tadi datang pula.
“Abang lihatlah…!” kata si Kari. “Orang ini hendak meracun saya,…Abang lihatlah!...kaca diparutnya…Abang lihatlah!... Serbuknya dimasukkannnya ke dalam gelas ini…Abang lihtlah…Itu masuk tinggal sisanya di atas parutan itu. “Si Kari menunjuk kepada bongkah es yang atas parutan tadi.
                Penulis menempatkan emosi secara hati-hati dengan mempertahankan unsur kemelayuan pada diri seorang kari. Berpangkal dari pepatah melayu ‘muek elok diagak-agak, muek buruk sekali nyangan’, berbuat baik mesti diperkirakan, berbuat salah sekali jangan. Sikap inilah yang ada dalam karakter tokoh Kari. Secara umum juga menggambarkan sikap orang Melayu kebanyakan.

3.      KESIMPULAN
Sastra tidak dibawa malaikat dari langit. Sastra tidak lahir begitu saja. Dia lahir melalui proses pergulatan sastrawan dengan kondisi social pada zamannya. Membawa karya sastra pada hakikatnya membaca keadaan masyarakat dan budaya masyarakat yang terungkap di dalamnya. Selain itu, sastra juga menyimpan pemikiran sastrawan di dalamnya. Sangat beruntung Indonesia memiliki seorang sastrawan seperti Soeman, Hs. Begitupun Riau pada khususnya. Karena dengan keberadaan Soeman Hs sebagai salah satu sastrawan nasional, baik secara langsung ataupun tidak langsung, telah memberi pengaruh besar guna memberikan pengetahuan tentang kebudayaan, sifat dan karakter orang Melayu pada umumnya, Riau pula pada khususnya.


DAFTAR PUSTAKA
Hs, Soeman. 2002. Kawan Bergelut. Balai Pustaka: Jakarta
Hamidy, UU. 2012. Jagad Melayu dalam Lintasan Budaya di Riau. Bilik Kreatif Press: Pekanbaru
Ratna Nyoman Kutha. 2011. Antropologi Sastra: Peranan Unsur-unsur Kebudayaan dalam Proses Kreatif. Yogyakarta: PT Pustaka Pelajar.
Anwar Sahril. 2013. Analisis Antropologi Sastra, (Online),
http://sahrilanwar.wordpress.com/makalah-2/, diakses 20 Oktober 2015.
Ajeng. 2014. Kajian Antropologi Sastra, (Online),  http://ajengbgt.blogspot.com/2012/04/apresisasi-sastra-kajian-antropologi.html, diakses 20 Oktober 2015.


Salah Paham
Kari Bungsu, seorang saudagar gambir, yang senantiasa tempatnya terpencil di pusat Pulau Sumatera, dalam tahun itu, boleh beruntung yang lumayan juga, berkat diseret oleh rega getah yang naik membumbung tinggi. Karena tiap-tiap hari ia mendengar bual orang tentang keadaan negeri yang ramai-ramai, maka inginlah pula ia hendak meninjau negeri besar itu…. Kok, bagaimana benarlah rupanya.
                Dengan pertolongan seorang handainya, selamatlah ia sampai ke negeri Singapura. Betapa heran ia dan takjub hatinya melihat motor yang berkeliaran di daratan dan memandang kapal yang bertaburan di lautan, tak dapat dikata lagi.
                Sesudah lepas sembahyang Magrib handainya itu pergi menguruskan keperluannya, sedangkan si Kari itu ditinggalkannya di rumah penumpangan. Sudah lama terniat di dalam hatinya hendak makan di kedai Keling, karena sapanjang cerita  yang lauk-pauk di situ masyhur enaknya.
Ia pun pergilah ke kedai keling, yang kebetulan berantara empat pintu dari tempat tumpangannya itu.
Ia masuk lalu duduk.
“Tuan mau makan?” bertanya yang empunya kedai.
“Ya, sahut si Kari sambil menghirup-hirup udara membaui bau makanan yang mengamuk hidung itu.
“Kari apa?” bertanya tukang jaga gulai.
“Mau makan”, jawab si Kari dengan heran, karena tidak disangka-sangkanya, orang kedai itu mengetahui namanya.
“Kari apa…?” bertanya tukang lepau sekali lagi.
“Mau makan…!” jawab si Kari bungsu.
“Ya, …kari apa?” ujar orang keling itu agak marah, karena ia merasa dipermain-mainkan.
“Mau…makan,” memberongsang si Kari, Bukan sudah saya katakana berkali-kali?”
Orang lepau itu meradang, lalu berkata: “Ya, saya tahu, tapi kari apa?-kari kambing…? Kari lembu…? Kari ayam…?”
Mendengar itu, Kari Bungsu menyentak tumbuk. Dia sangat malu dikatakan Kambing, …Lembu… dan ayam itu.
Polisi masuk.
Sengketa disusul.
Akhirnya, polisi tertawa terbahak-bahak. Dengan terkekeh-kekeh jua diterangkannya kepada orang kedai itu, bahasa lawannya itu bernama si Kari dan kepada si Kari dikatakannya, bahwa kari itu artinya…gulai. Jadi kari kambing, kari lembu, atau kari ayam, bukan maksudnya si Kari kambing, lembu, atau ayam; melainkan gulai kambing-gulai lembu dan gulai ayam.
Polisi pergi.
“Tuan minum apakah? Kopikah? Susukah? Air batukah?” bertanya orang lepau itu memperagakan jagalnya.
“Air batu,” jawab si Kari, karena ia sangat ingin hendak mengecap minuman yang belum pernah dilihatnya.
Orang lepau itu mengeluarkan sebongkah es dari dalam kantong, lalu dibasuhnya hendak membuangkan sampahnya.
Si Kari mengerling perbuatan orang lepau itu, karena hatinya masih waham kepada musuhnya tadi.
Oleh orang keling itu, es itu diparutnya, lalu dimasukkannya ke dalam gelas.
Amat heran si Kari melihat keberanian orang Keling itu, hingga ia berhenti menyuap nasi.
Sesudah gelas itu sampai ke atas meja, si Kari melompat mengimbau polisi tadi.
Polisi tadi datang pula.
“Abang lihatlah…!” kata si Kari. “Orang ini hendak meracun saya,…Abang lihatlah!...kaca diparutnya…Abang lihatlah!... Serbuknya dimasukkannnya ke dalam gelas ini…Abang lihtlah…Itu masuh tinggal sisanya di atas parutan itu. “Si Kari menunjuk kepada bongkah es yang atas parutan tadi.
Polisi itu tertegun sebentar dan…akhirnya kedengaranlah gelak gemuruh dalam kedai itu…
                Di antara pengarang-pengaran prosa zaman baru, Suman Hs mempunyai kedudukan yang luar biasa. Sedangkan tentang pilihan katanya ia tiada berapa jauh meninggalkan bahasa Melayu yang lama berhubung dengan pergaulannya di Sumatra Timur dan didikannya sebagai guru, tetepi tentang gaya bahasanya dan tentang pemandangannya dan perasaannya tentang bahasa, ia termasuk golongan pengarang baru.
               

Comments