Kemaruk

Gunawan

Sepuluh menit lagi menjelang pukul 24 malam.angin begitu kencang, gemuruh bersahut sahutan, hujan kian lebat.  Malam itu malam jumat. Tak biasanya mataku mampu menahan suasana dingin seperti ini. serasa kantuk tak pernah aku kenal seumur hidupku. Dalam samar suara rintik hujan, aku dengar panggilan dari atas tempat tidur yang berjarak 2 meter dari posisi aku duduk. Panggilan yang lembut. Sahdu dan merayu. Dalam hitungan sadar, panggilan itu sudah 3 kali terdengar. Namun konsentrasiku tak bergeming. Aku masih setia dengan laptop dan sepiring kentang goreng yang dibubuhi bumbu ala rasa balado.                
Suasa seperti ini mengingatkan aku akan cerita ibu. Beliau pernah berkisah, katanya dalam keadaan seperti inilah aku dilahirkan. Orang kampungku biasa menamakan keadaan seperti ini dengan ‘Kemaruk’. Kemaruk adalah sebuah keadaan hujan sedang lebat, angin begitu kencang, hari kian gelap dan dan guruh bersahut-sahutan.
Pada penanggalan hijriah, aku lahir pada hari selasa, 23 Zulhijjah 1407 Hijriah, bertepatan pada Selasa, 8 Agustus 1987 tahun masehi. Hari itu, ayah sebagai orang yang seharusnya paling bertanggung jawab atas kelahiranku, tidak berada di samping ibu yang langsung koma setelah aku ujud di dunia. Ayahku perantau, tepat 10 hari umurku, baru beliau tau bahwa aku sudah lahir. Ibuku ‘tutoguo’, dan sempat tak sedarkan diri selama 1 minggu setelah kelahiranku. Sampai hari ini, sebagai melayu muslim, aku tak tau siapa yang menanamkan kalimah syahadat dalam lantunan azan padaku. Tapi aku tetap bersyukur dilahirkan sebagai Melayu, dan sebagai Muslim.
Aku anak keenam dari delapan bersaudara. dalam ramalan orang melayu, anak keenam memiliki sifat air, lembut dan menenangkan. Itu sifat ibuku. Namun dari perawakan, aku mirip delapan puluh koma lima persen dengan ayahku. Syukur aku tak mewarisi karakternya. karena ayah sangat keras. Keras dalam segala hal. Sejak kecil kami kakak beradik sudah memiliki tanggung jawab di rumah atas perintah dari ayah. Sejak tanggung jawab itu ditetapkan ke masing-masing kami, aku selalu mengalami hari hari yang kemaruk. Pernah suatu hari, hanya gara-gara itik yang tak pulang ke kandang, aku dipukul dengan kayu pada bagian betis, dan disuruh menimba air sebanyak mungkin. Saat itu umurku masih 8 tahun. Dan sampai hari ini, aku belum dapat menganalisis tujuan ayah berbuat itu padaku, meskipun sekarang pendidikanku menuju magister.
Sebenarnya bukan bagian ini yang ingin kuceritakan, bagian ini tidaklah begitu penting, dan juga tidak cocok aku jadikan sebagai mukaddimah pengantar cerita hidupku sehingga kini. Bagian yang ingin kuceritakan ialah fase usia sekolah SMA. Saat ujian terakhir. Usai ujian, aku pulang ke rumah, dan ketika itu aku langsung mendapati televise untuk menonton tayangan favoritku, highlight bola. Pada saat yang sama, kakak yang paling tua menyuruhku untuk mengambil KTP ibu di Kecamatan. Ayah langsung menengahi agar kakak tak menyuruhku. “ Suruhlah yang boaka, jangan suruh nun tido buaka do!”. Suruhlah yang berakal, jangan suruh yang belum berakal. Begitu kata ayah. Maksud dari perkataannya agar kakak menyuruh orang lain selainku yang mengerti dunia birokrasi. Aku menduga bahwa ayah masih menganggapku sebagai anak ingusan yang masih asing dengan dunia perkantoran. Tapi karena bahasa ayah agak kasar, aku lantas membalas perkataannya. “Iya, cari aja yang berakal, aku belum berakal!”. Lantas ayah menduga aku melawan. Ya, aku memang melawan. Sontak ayah memarahi dan mengusirku dari rumah. “Cari ayahmu yang lain, dan tinggalkan rumah ini!”. Belum habis kalimat itu ia lafaskan, asbak rokok kaca berukuran besar melayang tepat pada pangkal pinggangku. Karena memiliki ilmu silat kampong melayu, dapatlah aku mengelak sedikit. Hingga asbak tak mengenai pinggang, walaupun akhirnya menimpa jemari kakiku. Lemparan yang akurat. Salah sasaran tapi tetap melumpuhkan lawan.
Pelajaran nomor 45 dalam hidupku, bahwa jangan mengelak saat ayah melepar asbak rokok, tapi berusahalah menangkap lemparan itu. Sedangkan pelajaran nomor 46 adalah, bahwa ayah tak boleh diremehkan.
Sejak hari itu, barulah aku tau makna merantau. Aku benar benar pergi dari rumah. Meninggalkan ibu, saudara, dan juga ayah. Aku lihat ibu menangis saat aku membungkus pakaian, meskipun yang ku tahu, ibuku adalah manusia tanpa air mata. Air matanya jatuh ke dalam. Dalam sekali, menembus jantung, merobek dada, menusuk hati. Aku tak berpikir untuk menenangkan ibu, aku hanya berpikir bagaimana nanti kalau saja ada asbak kedua yang akan melayang ke bagian badanku. Karena sejujurnya, aku tak pernah diajarkan jurus menangkap di dunia silat. Aku hanya banyak mempelajari jurus mengelak dan jurus langkah seribu, maksudnya lari seribu.
Aku pergi ke Dalu-dalu, 30 km dari kampong. Aku benar-benar ingin mengadu nasib. Maksudnya mengadukan nasib hidupku pada ibu dari kawan yang ada di sana. Mereka menyambutku dengan senang bercampur duka. Senang karena begitulah tradisi orang melayu menyambut tamu. Untuk bagian dukanya, tak perlulah aku ceritakan. Sebab terlalu banyak bagian duka pada fase ini. sampai-sampai, aku bertanya-tanya dalam diri, pernahkah aku mengalami situasi selain duka?. Agak dramatis memang, agak puitis mungkin, tapi aku memang mengalaminya.
Kurang lebih 2 tahun aku tinggal disana. Sampai aku mendapat kabar dari kawan bahwa ibu menyuruhku kembali pulang ke rumah. Sempat aku ragu akan kabar itu. Namun kuyakinkan saja, bahwa kabar itu benar-benar adanya. Terkadang ragu itu kembali bergejolak dalam bentuk pertanyaan lain, masih adakah asbak kaca ukuran besar di rumah ku?. Rahasianya, dalam dua tahun aku merantau, ada satu doa yang tak pernah aku lupakan pada tiap sujudku. Doa agar ayahku berhenti merokok dan asbak dimusnahkan. Doa itulah yang aku masih ragu terkabul atau belum.
Sesampai di pintu rumah, aku menjumpai ayah sedang duduk di sofa, dalam keadaan sadar, aku sudah mengantisipasi segala kemungkinan yang terjadi. Termasuk perihal asbak rokok. Aku ucapkan salam, ayah tak menyahut. Aku biarkan saja dan langsung menjumpai ibuku.  Bersungguh-sungguh aku memohon ampun pada ibu, ibu menganjurkan untukku memohon ampun pula pada ayah. Aku masih ragu. Dan merasa tidak bersalah atas kejadian dua tahun lalu itu. Ibu kembali meyakinkanku dan memberitahu bahwa amarah ayah telah pudar. Ia juga menceritakan bahwa dalam dua tahun belakangan, dia selalu menanyakan perihal keadaanku, dimana dan seperti apa nasibku. Namun aku yakin, ibu hanya sedikit berbohong, agar aku segera mohon ampun. Aku tahu, ayahku keras, dan dia tidak akan sedikitpun bertanya perihal anak yang pernah dia usir. Karena aku adalah anak keenam yang pernah dia usir. Artinya, tiap tahun ayah selalu mengusir kami.
Dugaanku benar, ayah datang menghampiri aku dan ibu. Dia membawa asbak rokok. Kali ini bukan kaca, tapi berbahan tanah sepertinya. Agaknya lebih berat yang satu ini daripada kaca yang lalu. Aku melompat siap berlari. Selangkah aku akan lari, tiba-tiba mataku berat. Dan samar aku mendengar panggilan mesra merayu. Panggilan ke lima. Makin sahdu merayu. Itu panggilan istriku. Istri yang baru kupersunting 4 hari yang lalu. Masih muda usia pernikahan kami.

Kian gelap saja, kian dingin dan kian lebat hujan malam ini. mataku benar-benar berat. Aku langsung menghampiri istriku, mekar senyum dibibirnya. 

Comments