Bulang Cahaya Sembilu Cinta

Novel Rida K Liamsi “Bandar Estetika Bahasa”
Oleh: Drs. Abdul Kadir Ibrahim, MT
Teater Bulang Cahaya
(Sastrawan Nasional-Indonesia, Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Provinsi Kepulauan Riau, Mantan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tanjungpinang dan kini Staf Ahli Walikota Tanjungpinang. Sempena ulang tahun ke-46, tahun 2012 akan meluncurkan delapan judul buku:3 Kumpulan Cerpen: “Santet Tujuh Pulau”, “Tanjung Perempuan”, dan “Karpet Merah Wakil Presiden. 1 Novel: “Cinta di Pucuk Gelombang Memburu Kasih Perempuan Sampan”, tiga ulasan: “Dari Raja Ali Haji sampai Fluralisme Indonesia”, “Aisyah Sulaiman Riau”, dan “Kartini di Mataku Orang Melayu”). Belum lama ini, baca Puisi Utama pada  The 2ndJakarta International Literary Festival 2011 di Gedung Kesenian, Jakarta dan Baca Puisi pada acara Hari Sastera XV Sempena Melaka 750 tahun, yang ditaja GAPENA dan Kerajaan Negeri Melaka, dan Dewan Bahasa dan Pustaka-Malaysia, di Melaka, 30 Maret 2012. Tampil baca puisi bersama novelis cilik Indonesia, Tiara Ayu Karmita, yang membacakan nukilan novelnya: “Gemintang Penabur Matahari”).
Tajak Kalam
Selepas berlalunya Kerajaan Bintan dengan Raja Wan Sri Benai, beratus tahun lamanya, berdirilah Kerajaan Johor. Semakin ke hadapan, ianya dibukalah Ulu Sungai Carang, Pulau Bintan, oleh Sultan Johor, Raja Ibrahim dengan gelar Sultan Ibrahim Syah I, yang dibantu oleh Temenggung Tun Abdul Jamil, sebagai tapak baru, sekira dalam tahun 1673. Sampailah pada generasi berikutnya dan berikutnya lagi, Tengku Sulaiman dilantik menjadi Yang Dipertuan Besar Kerajaan Riau-Johor-Pahang pada tanggal 4 Oktober 1722  dengan gelar Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah. Di samping Sultan ada pembesar yang baru diadakan dalam jabatan Kerajaan Melayu ini, yakni Yang (m) Dipertuan Muda atau Raja, sebagai yang pertama adalah Daeng Marewah.
Yang Dipertuan Besar (Sultan), selanjutnya diwarisi oleh Sultan Mahmud Syah III. Pusat Kerajaan Riau-Johor, melebar ke Lingga, dan juga berujung di Pulau Penyengat. Maka, pusat Kerajaan “utama” di Ulu Riau, Pulau Biram Dewa dengan istana Kota Piring, Lingga dan Penyengat. Ada satu kawasan yang tak kalah penting bersebati langsung dengan pusat kawasan kerajaan, yakni Kampung Bulang. Di situlah juga adanya berdiam sanak keluarga Sultan Riau-Johor-Pahang-Lingga. Di situ pula, pada akhirnya jenazah Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah dimakamkan.
Tapak sejarah Kerajaan Riau-Lingga sebagai turunan dari Kerajaan Johor, sebegitu singkat, demikianlah adanya. Sahdan, Rida K Liamsi, seorang sastrawan yang namanya berada di rentangan sastrawan Indonesia, dipermaklumkan di tengah masyarakat—terlebih dahulu melalui sajak-sajak (puisi)—yang menulis (melahirkan) karya fiksi, berupa prosa dalam wujud novel. Sebuah judul yang ditampilkan, yakni “Bulang Cahaya”—karya Rida K Liamsi, Yayasan Sagang, Pekanbaru, 2007—yang ianya menarik dan bisa muncul beberapa penafsiran. Kata “Bulang” bisa bermakna “Bulan”. Bisa “seorang gadis” atau “anak dara” Kerajaan dan bisa pula bermakna sebuah kawasan, yakni Kampung Bulang.
Bagi saya, yang paling menarik adalah ketika kata “Bulang” itu tak lain dan tak bukan adalah dimaknakan sebagai kata ganti untuk menyebut seorang “kembang” gadis atau anak dara Kerajaan  Melayu Riau-Lingga, yang bertama Tengku Buntat. Dan, nyatalah bahwa novel ini, mengisahkan tentang percintaan Tengku Buntat dengan Raja Djafar. Di samping itu, ada pula muda-mudi yang merupakan  keturunan raja dan tengku juga, yakni Raja Husin dan Tengku Khalijah. Percintaan Tengku Buntat degan Raja Djaafar, berkarut-marut dengan perkara-perkara yang melilit-lilit dan membelit-belit perjalanan sejarah Kerajaan Riau-Johor-Pahang-Lingga. Rasa cinta sungguh mengarau dan menyauk rasa, menyilu hati, dan mengenaskan!
Luka Tangis Sepangkal Cinta
Jalinan kisah dalam novel Bulang Cahaya (BC), dapat ditangkap dan diserapi dalam lubuk bacaan dan memaknaan adalah cinta terbelah-bagi. Segala-gala cinta yang ditajak oleh Raja Djaafar dengan Tengku Buntat, menjadi berkecai-kecai. Pangkal sebab, karena ayahanda Tengku Buntat, yakni Yang Dipertuan Muda Tengku Muhammad, tak bersetuju. Penyebabnya, mungkin “luka sejarah” antara Raja dengan Tengku dalam perjalan waktu dan sejarah Kerajaan Riau-Johor-Pahang-Lingga. Alasan sejati bagi Tengku Muhammad, agaknya karena sewaktu itu dua jabatan atau kekuasaan dalam Kerajaan Melayu Riau-Johro-Pahang-Lingga berada di tangan Orang Melayu, yang Yang Dipertuan Besar, Sultan Mahmud Syah III, dan Yang Dipertuan Muda Tengku Muhammad. Pihak Bugis, yang sebelumnya diberi tempat sebagai Yang Dipertuan Muda—seolah-olah telah menjadi tradisi atau warisan jabatan “tingkat kedua”—ketika itu segalanya tiada lagi. Tentulah Tengku Muhammad, tak hendak anaknya menikah dengan Raja, karena ianya akan memberi laluan ulang  kepada keturunan Bugis untuk kembali berkuasa sebagai Yang Dipertuan Muda.
Adalah sebenarnya kisah cinta antara Raja Djafar dengan Tengku Buntat, dibumbui dan dibunga-bungakan pula oleh percintaan Raja Husin dengan Tengku Khalijah. Tengku Djafar di Kota Piring, Pulau Biram Dewa, sedangkan Tengku Buntat di Kampung Bulang. Dengan arti mendalam, bermula kisah perih cinta Raja Djafar kepada Tengku Buntat dari Kota Lama, Ulu Riau dan Kota Piring, Pulau Biram Dewa. Di kawasan lain, yakni Kampung Bulang, Tengku Buntat bertempat tinggal dan senantiasa merindukan dan selalu hendak menunggu kedatangan Raja Djafar. Pada saat keduanya saling mencintai, tetapi sukar bertemu-muka untuk mencurah dan meluahkan segala-gala di hati dan cinta, dari arah yang lain datang pula kehendak dan kemauan keras sang ayahanda Buntat. Beliau berhajat sekali menjodohkan Tengku “Intan-Permata” Buntat  dengan Ilyas. Hal ini, menjadikan “tugas suci” dan “pekerjaan mulia” Tengku Khalijah dan Raja Husin sebagai penugung-sambung cinta Tengku Buntat dengan Raja Ja’far begitu tidak mudah, dan sebaliknya berat! Di celah-celah itu, Raja Husin dan Tengku Khalijah tengah tidak mudah pula hendak memadukan cinta mereka sebagaimana adanya. Semakin menganga dan merenggang, manakala Raja Djafar berpindah-tugas di Lingga. Maka, percintaan dua pasang anak manusia di dalam keluarga Kerajaan Riau-Johor-Pahang-Lingga itu, menjadi rumit dan kian mengiris luka di hati-diri. Harapan, nyaris pasti tiada bertirai-tirai dan apatah lagi bercahaya.
Buntat tampak murung. Hati kecilnya tetap sulit percaya bahwa cinta mereka akan bertaut semula. Siang malam, dia memang berharap, Raja Djafar tiba-tiba muncul di hadapannya. Datang dan berbicara dari hati ke hati. Melepas rasa rindu yang tersimpan selama berbulan-bulan ini. Firasatnya mengatakan Raja Djafar ada di Bulang. Bila dia memandang ke ujung tanjung, ke arah perahu-perahu berlabuh, dadanya berdesir. Dia seakan menangkap kelebat tubuh Djaafar melintas, memandang dari jauh. Melambai. Tetapi terkadang begitu hati kecilnya tersadar dan tahu itu hanya angan, bayang-bayang itu lenyap, dan dia merasakan kehilangan yang sangat dalam.
“Beta ini bodoh, Ijah. Rindu seorang. Sedangkan orang lain tak perduli…” katanya dengan mata yang basah mencurah rasa pedih hatinya kepada Tengku Khalijah, kalau rindunya sudah tak tertahankan.  (Hlm:154).
Rajutan tali cinta antara Tengku Buntat dengan Raja Djaafar, bukan semakin rapat, dan bertaut, melainkan semakin berkerukut dan bersembi aral. Bagamana tidak, Radja Djaafar, akhirnya menjadi Wakil Sekretaris Kerajaan, yang setia mengabdi kepada Sultan Mahmudsyah III dan menetap di Lingga pula adanya. Tatkala ada waktu senggang atau ada tugas khusus, barulah dapat sekali-sekali kembali ke Ulu Riau atau Kota Piring, yang nyatanya tak tertahankan rasa di hati hendak bersua mesra degan pujaan hati, Tengku Buntat, namun selalu majal dan gagal. Bahkan, melihat dari kejauhanpun semakin jarang dan langka. Selanjutnya, Tengku Buntat atas kekuatan keluarga akhirnya pindah dan tinggal pula di Tanjungpinang. Pada perkara lain, ayahnya yang keturunan (pihak) Melayu yang berkuasa sebagai Yang Dipertuan Muda, begitu tak suka dengan zuriat (pihak) Raja Bugis. Dia, berjaga-jaga dan berikhtiar agar Raja Ali tidak kembali ke Riau-Lingga, dan sehingga kekuasaan Yang Dipertuan Muda tetap di genggamannya. Pada akhirnya, jalinan cinta Raja Djaafar dengan Tengku Buntat semakin kusut-masai dan bahkan semakin menghalus sebagaimana ujung tikus, tersebab pihak Raja Ali (Bugis) dan pihak Tengku Muhammad semakin berseteru dan berhadap-hadapan dengan perkara yang bukan lagi jabatan, melainkan marwah. Sungguh tak terbayangkan, dalam situasi kedua keluarga besar berselisih, cinta kedua insan itu akan bersatu?
Buntat merasa sangat nelangsa. Hati yang mulai akan bertaut kembali di Pulau Bulang, dengan kedatangan secara sembunyi-sembunyi Raja Djaafar dan dengan sabar mengajuk hati lewat Raja Husin, kini kembali putus, karena Buntat pindah ke Tanjungpinang. Sekarang tak usahkan Raja Djaafar, Raja husin pun yang biasa selalu datang ke daerah pihak Melayu membawa titahYang Dipertuan Besar, juga tak lagi muncul.  Sehingga kabar berita dari Djaafar benar-benar tak pernah ada lagi. Haya denngan merisik sana-sini, Buntat tahu Djaafar masih tetap di Lingga, dan menolak diajak pamannya, Raja Lumu, pindah ke Selangor. Dia tetap mengabdi kepada Sultan Mahmud sebagai Wakil Sekretaris Kerajaan. Ini membuat Buntat hati semakin pedih, dan hidupnya kehilangan gairah (Hlm: 162).
Dan, kisah dalam novel Bulang Cahaya karya Rida K Liamsi yang “puncak-pucuk meninggi”—masa awal sebagai penyair dikenal dengan nama: Iskandar Leo, dan almarhum H. Hasan Junus semasa hidup selalu juga akrab memanggilnya dengan nama Iskandar Leo—luar biasa “berani” dan “terang” mengurai dan mengusai peristiwa yang hampir saja terjadi pertembungan kekuatan demi “perebutan kekuasaan” Yang Dipertuan Muda (Raja) antara pihak Tengku Muda Muhammad (yang sudah menjadi Yang Dipertuan Muda) di pihak Melayu dengan Raja Ali (merasa berhak menjadi Yang Dipertuan Muda menggantikan Yang Dipertuan Muda Ria IV) di pihak Raja, selepas meninggalnya, Raja Haji (Hln:162-188).
Adalah benar sekali, Tengku Buntat dan Raja Djaafar, tidak pernah bersatu dalam rajutan dan sulaman cinta dan ikatan pernikahan. Dia, menjadi “kurban-tumbal” bagi perikatan lagi antara Melayu (Tengku) dengan Bugis (Raja). Atas titah Yang Dipertuan Besar, Sultan Mahmud Syah III, maka Tengku Buntat dinikah dengan anaknya sendiri, yakni Tengku Husin atau Tengku Long. Nama lelaki zuriat Sultan itu sama sekali tiada dikenal rapat oleh Buntat. Dengan demikian, jangankan ada rasa terkena di hati, bercakap-cakap sajapun tiada pernah sekalipun!
Tengku Buntat meraung, menangis, dan menjerit. Tak terbayang olehnya, bahwa akhirnya dia harus menjadi isteri Tengku Husin atau Tengku Long, Putra Sultan Mahmud. Orang yang baru beberapa kali dilihatnya, tapi belum dikenalnya. Tak terbayangkan olehnya, betapa hancur hati Djaafar mendengar itu. Padahal mereka sudah sepakat akan segera mewujudkan persatuan cintanya, begitu sengketa antara ayahnya dengan pihak bugis selesai…Mengapa tiba-tiba semua berubah? (Hlm:184-185).
Bagaimana Raja Djaafar yang sedang berada di Lingga, ketika mendapat kabar “Keputusan Pulau Bulang” oleh Sulthan atas usul keturunan Raja? Dia, merasa sangat pedih, karena pernikahan akan berlangsung di depan matanya, di Lingga! Sungguh, kemana muka hendak ditaruh? Kemana marwah dan harga diri hendak disigaikan lagi? Segala-gala dirasakannya sudah tumpas dan terbenam dalam pelimbahan! Maka, lebih baik membunuh yang menzalimi atau yang merampas cintanya dengan Tengku Buntat, atau dirinya sendiri tewas terbunuh! …Hatinya terasa semakin pahit, bila mengenang hari-hari terakhir di Lingga, hari-hari terakhir cintanya pada Buntat (Hlm:189). Dan, tentang bagaimana kisah pahit dan sedihnya Raja Djaafar atas direnggut-ragut cintanya dengan Tengku Buntat. Pada ujungnya pula, dia pun ikut pamanya, Raja Lumu ke Selangor. Sehingga dia dengan kekasihnya itu dipisah paksa sebagai benar-benar berpisah-dedah jauh sekali dan usai! Maka, luka tangis sepangkal cinta, cinta terlepas dan terpisah selama-lamanya tiada terkira! Pada akhirnya pula  dapat disimak dan niscayalah menyentuh lubuk hati yang paling dalam bagi sesiapa membacanya (Hlm:189-197). Dan, kepedihan itu, dapat dirasakan betul dari apa yang dikatakan oleh Raja Djaafar: “Hhm…. Buntat, selesai sudah segalanya. Pupus sudah segalanya…” (Hlm:314).
Model Cerita Bulang Cahaya
Bagaimana kita, nampak begitu jelas kemahiran dan kedalaman pemahaman Rida K Liamsi terhadap serangkaian perjalanan, pasang-surut, turun-naik atau apapun istilah peristiwa terhadap Kerajaan Riau-Johor-Pahang-Lingga dan bahkan Selangor ke dalam karya fiksi, prosa berciri khas novel. Banyak sekali kisaj-kisah yang mengharu-birukan apa-apa yang berkaitan dengan manusia, baik ianya lelaki ataupun perempuan. Banyak pula perkara-perkara yang berlaku atau terjadi seputar atau yang mengitari petinggi-petinggi Kerajaan Riau-Lingga-Johor-Pahang, misalnya tetang “racun-meracun” yang dikisahkan dalam novel ini. Yakinlah kita, bahwa beberapa kejadian, peristiwa dan apa-apa perkara baik ataupun buruk yang meyebati dengan Yang Dipertuan Besar, Sultan Mahmud Syah III dan pembesar-pembesar kerajaan lainnya, atau sesipa saja dalam lingkup kerajaan itu sendiri, sulit akan dapat dibaca dengan terang di dalam senesaian-seneraian yang lain. Bayak kabar, antara lain kabar sejarah Kerajaan Riau-Lingga-Johor-Pahang yang didedahkan Rida kepada pembaca melalui novel ini.
Model penceritaan yang dituangkan atau dihidangkan oleh pengarang kepada khalayak pembaca, tidak dari pangkal sampai ke ujung atau sebaliknya dari ujung balik ke pangkal. Melainkan, dibuatnya dalam penggalan-penggalan utama, yakni berpenggal tiga. Penggalan pertama sebagai pembuka, yakni Radja Jaafar sudah mengenang cintanya kepada Tengku Buntat, ketika dia sudah tidak muda lagi, dan berada di Selangor. Berada jauh dari pusat Kerajaan Riau-Lingga. Dia, diminta pulang ke Riau-Lingga, karena akan ditabalkan (dilantik) menjadi Yang Dipertuan Muda Riau mengantikan Raja Ali yang sudah wafat.
Berlanjutnya cerita itu, pada penggalan kedua, yang  memuncak, tetapi sukarnya masa-masa percintaan Tengku Buntat dengan Radja Jaafar. Pada penggalan kedua itu, berbagai kisah, peristiwa, dan perkara-perkara lainnya, bergitu berselang-seling, melingkar, melingkup, menyungkup, menangkup dan seakan-akan menutup jalinan cinta keduanya. Berbagai informasi yang ada kaitannya dengan kebenaran Kerajaan Riau-Johor-Pahang-Lingga, dihidangkan sempurna di dalam penggalan kedua novel ini.
Selanjutnya, penggalan ketiga, diakhiri dan ditutup dengan keberadaan Raja Djaafar yang sudah tidak muda lagi, selanjutnya mengenang masa lalunya, terutama ketika menjalin kasih mersa yang sulit dengan Tengku Butat. Dia seakan-akan tiada dapat melupakan Tengku Buntat, meskipun Buntat sudah lama menikah dengan Tengku Husin. Dalam pada itu, Tengku Buntat pun tetap tak pupus-pupus juga cintanya kepada Raja Daafar, sampai-sampai sebelum dia beserta suaminya pindah dari Lingga ke Temasik atau Singapura, masih sempat-sempatnya menengok bilik Radja Jaafar, meskipun tak ada orangnya. Dan, penggalan ini, pengarang novel menggantungkan akhir daripada cinta dan kisah Tengku Buntat dan Raja Djaafar. Sehingga para pembaca, dibiarkan gelisah akan mencari dan mungkin akan akhir sebenarnya cerita novel dimaksud.
Sanggam Bahasa & Optimisme
Bagi pengarang orang Melayu, niscayalah akan bersungguh-sungguh menggunakan bahasanya sendiri (Melayu/Indonesia) dengan sebaik-sebenar-benarnya. Secara patut, beradat dan bermarwah. Dia akan menjaga eksistensinya sebagai pemilik bahasa Indonesia itu sendiri. Pastilah akan sedapat-dapatnya menggunakan bahasa itu bersesuaian dengan adab, adat-budaya dan petah Melayu. Kata-kata pulgar, dan tabu tentulah sukar ditemukan. Bahasa kias dan misal akan menjadi penekanan. Itulah pula yang dapat ditangkap dan dikesan dalam penulisan (pengarangan) novel BC.
Bagaimanapun, patut diacung jempol, bahwa Rida K Liamsi, seorang penyair, wartawan besar, jurnalis tulen, pengelola media massa terbesar dari Riu Pos Group memuncak ke Jawa Pos Group—yang saya pernah lama bersamanya, baik ketika di SKM Genta, yang ianya sebagai Ketua PWI Riau, ataupun ketika saya menjadi wartawan Harian Pagi Riau Pos, dan berlanjut menjadi Redaktur Mingguan SeMpadaN, salah satu media massa Riau Group. Juga selalulah hadir bersamanya dalam seminar sastra dan baca puisi—di dalam menempatkan petah bahasa Melayu dan “akhlak” berbahasa.
Bagi orang Melayu menjadi pengarang, bukan sekedar menghadirkan atau menghidangkan serangkaian kalimat dengan jalinan cerita, tetapi lebih menukik dan jauh daripada itu. Ianya bertanggungjawab kepada agama yang diyakini dan diamalkannya, Islam dan adab, adat-istiadat Melayu yang bersebati dan menjadi jati-dirinya. Memarwahkan dan memartabatkan bahasa adalah harga mati, karena di sanalah makna: manusia mati meninggalkan nama! Ini pulalah yang “dipetuahkan” oleh Raja Ali Haji dalam “Gurindam Dua Belas”, bahwa: Jika hendak melihat orang berbangsa lihatlah kepada budi dan bahasa. Budi dan bahasa bermakna berbuat dan berlaku (berperangai) baik, mulia dan agung (akhlakul karimah). Dengan demikian, maka perkara menyanggam (mematutkan, memarwahkan dan menghebatkan) bahasa menjadi identitas dalam melahirkan karya. Rida K Liamsi dengan novel BC, ini menjadi penanda bagi kepengarangan Melayu, dan bergeliuk menjadi “Bandar Estetika Bahasa”.
Hal terpenting kehadiran novel ini, Rida hendak mengabarkan kepada sesiapa saja, baik yang membaca karyanya ini ataupun mereka-mereka yang hidup di tanah Melayu bernama Kepulauan Riau, dan umumnya Indonesia, setiap kejadian, peristiwa, hal-ikhwal, apakah ianya baik ataupun yang buruk, senantiasa ada pesan optimisme di dalamnya. Bagaimana pertelingkahan pandangan, pembidikan kekuasaan, dan pengaruh bagi masa hadapan di dalam lingkar-lingkup Kerajaan Riau-Johor-Pahang-Lingga, antara pihak Melayu dan Bugis, niscayalah dapat menjadi teras bagi mengentalnya rasa optimisme di dalam masyarakat dan pemegang teraju pemerintahan. Serangkaian kejadian atau “peristiwa sejarah” di dalam novel ini, menjadikannya sebagai bacaan  ke kinian, dan dapat dipetik mutiara kebaikan bagi kemajuan masyarakat, bangsa dan negeri.
Simpai
Kisah cinta, perjalanan kerajaan, pertukaran-pergantian pejabat Yang Dipertuan Besar (Sultan) dan Yang Dipertuan Muda (Raja), dan perjodohan sungguh membumbui dan mewarnai jalan-jalinan dan rangkaian cerita-kisah novel Bulang Cahaya. Dapat ditangkap dan dimaknai bagaimana, semestinya berteguh hati, setia dan amanah akan marwah, harkat dan martabat. Juga, kecepatan, ketegasan dan kepastian keputusan yang mau-tidak mau harus diambil,  diputuskan atau dilaksanakan. Jikalau keputusan yang diambil itu tidak dapat memuaskan atau bahkan tidak diterima semua pihak, adalah suatu yang wajar dan sekali-kali tidak boleh bersurut apalagi mundur.
Rida K Liamsi, hendak mempertegaskan kepada sesiapa saja yang kini dan kelak mendapat rahmat atau berkah (amanah) dari Allah sebagai Pemegang Kekuasaan (menjadi Petinggi) Negeri, hendaklah betul, tegas, cepat, dan pasti. Demi khalayak ramai dan negeri, jikapun keputusan itu mesti berhadapan dengan keinginan keluarga, tidak menjadi soal. Keputusan final bukan demi keluarga, demi kelompok, demi suku, melainkan demi kebaikan dan kemaslahatan rakyat dan Negara. Itulah keputusan luar biasa hebatnya yang pernah hadir dalam Kerajaan Riau-Johor-Pahang-Lingga, yakni keputusan yang diambil oleh Sultan Mahmud Syah III ketika menjodohkan Tengku Buntat dengan Tengku Long (Husin) anaknya, dan “mencabut” jabatan Yang Dipertuan Muda dari Tengku Muhammad, yang selanjtnya menyerahkan jabatan itu kepada Raja Djaafar. Selanjutnya, keputusan hebat itu diambil pula oleh Raja Djaafar ketika dia menadi Yang Dipertuan Muda Riau, melantik Tengku Abdurrahman menjadi Yang Dipertuan Besar, Sultan Riau-Lingga mengganti Sultan Mahmud Syah III.
Pada akhirnya, ceritan novel “Bulang Cahaya” karya Rida K Liamsi ini, bukan sekedar pantas, patut, elok dibaca, tetapi sesiapa menjadi Petinggi Negeri di kawasan Kepulauan Riau—ianya ada Gubernur Kepri, Walikota Tanjungpinang & Batam, Bupati Bintan, Karimun, Lingga, Natuna dan Anambas—sepatutnya dapat serempak-kompak berikhtiar menjadikan novel ini dapat dinkmati secara visual. Bahwa, alangkah moleknya kalau diangkat menjadi film layar lebar! Atau, paling tidak di layar kaca (sinetron TV) Tahniah!

Comments